Anggota Komisi IV DPRD Jawa Barat, Daddy Rohanady |
Bandung.Internationalmedia.id.-Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat kini menghadapi krisis kapasitas yang semakin parah. Sebagai lokasi utama pembuangan sampah untuk wilayah Bandung Raya, TPA Sarimukti telah melebihi kapasitasnya, menimbulkan berbagai masalah lingkungan dan kesehatan bagi warga sekitar.
Hal ini diungkapkan oleh Anggota Komisi IV DPRD Jawa Barat, Daddy Rohanady, yang menyoroti dampak dari kondisi overload di TPA tersebut.
"Kondisi overload TPA Sarimukti mengakibatkan peningkatan volume sampah yang tertampung secara tidak teratur, yang juga meningkatkan risiko kebakaran. Bahkan, air lindinya mengalir hingga ke sungai Citarum, yang tentu akan mengancam ekosistem DAS Citarum.
Tidak hanya ikan yang terancam, air yang tercemar ini juga membahayakan kesehatan masyarakat di sekitar DAS Citarum," kata Daddy kepada wartawan, Jumat (8/11/2024).
Daddy menegaskan bahwa ancaman kesehatan dan kerusakan lingkungan di sekitar TPA Sarimukti akan semakin serius jika masalah ini tidak segera ditangani.
Menurutnya, para ahli dan aktivis lingkungan sudah lama mendesak agar pemerintah mempercepat pengoperasian TPA Legoknangka sebagai solusi jangka panjang untuk mengatasi permasalahan sampah di Bandung Raya dan sekitarnya.
"Pengoperasian TPA Legoknangka sebagai solusi jangka panjang adalah keniscayaan. Kita tidak ingin kejadian seperti tragedi Leuwigajah terulang kembali," ujarnya.
Daddy menjelaskan bahwa TPA Legoknangka dirancang dengan kapasitas lebih besar serta dilengkapi fasilitas pengelolaan sampah yang modern. Kehadiran fasilitas tersebut diharapkan dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Namun, kendala teknis, administratif, dan pembiayaan telah mengakibatkan penundaan pengoperasiannya.
"Itu PR besar untuk siapapun yang menjadi Gubernur Jawa Barat hasil Pilkada pada 27 November 2024 nanti," tambah Daddy.
Lebih lanjut, Daddy juga menekankan pentingnya untuk tidak hanya fokus pada TPA Legoknangka. Pemprov Jawa Barat juga perlu menindaklanjuti proyek serupa di wilayah lainnya guna mengantisipasi permasalahan sampah yang terus meningkat.
"Masih banyak peluang yang belum tergarap. Ada Ciwaringin di wilayah Ciayumajakuning dan usulan TPA Regional di wilayah Karawang, Purwakarta, hingga Bekasi yang harus ditindaklanjuti," kata Daddy.
Dengan kondisi darurat seperti ini, pengelolaan sampah menjadi salah satu tantangan utama yang harus diselesaikan oleh Gubernur Jawa Barat yang terpilih dalam Pilkada mendatang.
Sengkarut Backlog Perumahan
Masalah backlog perumahan di Jawa Barat kian memprihatinkan. Menurut Anggota Komisi IV DPRD Jawa Barat, Daddy Ronady, hingga tahun ini backlog perumahan di provinsi ini mencapai angka 2,8 juta unit.
Hal ini berarti sekitar 14 juta warga Jawa Barat tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah layak huni. Situasi ini semakin diperparah dengan tingginya harga tanah dan rumah yang tidak terjangkau oleh Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
"Banyak keluarga terpaksa tinggal berdesakan, dengan satu rumah dihuni oleh dua hingga tiga keluarga," kata Daddy kepada wartawan, Kamis 7 November 2024. "Ini realitas yang menyedihkan, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa harga rumah layak huni memang sulit dijangkau."
Daddy menyoroti langkah Pemprov Jawa Barat yang justru mengurangi anggaran perbaikan Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu) pada tahun 2025. Dari 2.600 unit pada tahun sebelumnya, jumlah ini dikurangi menjadi hanya 1.250 unit. Angka ini jauh dari target beberapa tahun sebelumnya yang mampu mencapai hingga 31.000 unit.
"Ironis sekali melihat pengurangan ini, padahal kebutuhan perbaikan Rutilahu di berbagai kabupaten/kota sangat tinggi," tegas Daddy. "Misalnya, Kota Bandung saja mengajukan perbaikan untuk 10.000 unit Rutilahu."
Menurut Daddy, salah satu kendala dalam penanganan masalah ini adalah regulasi yang membatasi perbaikan Rutilahu di lahan dengan luas antara 10 hingga 15 hektar untuk ditangani Pemprov Jawa Barat. Untuk luas di bawah 10 hektar, penanganan menjadi kewajiban pemerintah kabupaten/kota, sementara di atas 15 hektar menjadi tanggung jawab pemerintah pusat melalui Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS).
"Ini menyebabkan banyak pengajuan dari daerah dengan kebutuhan mendesak menjadi terbatas karena kendala regulasi. Padahal, kawasan dengan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rendah, seperti Kabupaten Cirebon dan Indramayu, sangat membutuhkan dukungan perbaikan hunian," ujar Daddy.
Daddy juga menyoroti pentingnya pendekatan kolaboratif antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam mengatasi permasalahan perumahan di Jawa Barat. Ia menegaskan bahwa Provinsi Jawa Barat harus mendapatkan alokasi setidaknya 20% dari kebutuhan nasional untuk mendukung pembangunan rumah layak huni bagi MBR, yang kini jumlahnya mencapai sekitar 3 juta unit.
"Namun, pembangunan tidak boleh hanya terpusat di kota-kota besar," tambahnya. "Wilayah pesisir dan kawasan kumuh juga membutuhkan perhatian agar pembangunan perumahan di Jawa Barat dapat lebih merata."
Daddy mengusulkan konsep perumahan vertikal sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan lahan di Jawa Barat. Ia mencontohkan bahwa di negara-negara maju, pengembangan perumahan menggunakan sistem bagi hasil dengan pemilik lahan asli. "Jika fasilitas umum seperti listrik dan air sudah memadai, konsep hunian vertikal dapat menjadi solusi efektif," jelasnya.
Kondisi backlog perumahan di Jawa Barat ini menggambarkan urgensi kebijakan yang lebih responsif dan inklusif untuk memastikan setiap warga dapat menikmati hunian yang layak.
"Semoga Jabar mendapat bantuan yang cukup besar mengingat hampir 20% penduduk Republik Indonesia tinggal di Jabar," pungkas wakil rakyat dari Partai Gerindra dapil Cirebon-Indramayu itu.(Ter)