Daddy Rohanady
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat
Pegawai di manapun membutuhkan kepastian hukum soal status kepegawaiannya. Pegawai yang belum jelas status kepagawaiannya pasti merasa risau. Masalahnya, hal itu memiliki beberapa konsekwensi. Satu hal yang pasti, apakah mereka akan menerima imbal jasa atas apa yang mereka lakukan. Di situlah strategisnya peran pemerintah.
Dengan regulasi yang ada, pemerintah memfasilitasi banyak hal sehingga tidak perlu terjadi perselisihan akibat ketidakjelasan status pegawai.
Di sisi lain, fakta empiris di lapangan menunjukkan bahwa masih begitu banyak pegawai honorer, terutama pekerja di sektor swasta. Hal ini tentu dapat dipahami mengingat begitu banyaknya perusahaan swasta yang bergerak di berbagai bidang usaha. Meski cukup banyak yang sudah menjadi karyawan tetap, tidak sedikit pula yang masih berstatus sebagai pegawai honorer.
Pegawai honorer di perusahaan swasta biasanya merupakan para “kontraktor”. Mereka biasanya dipekerjakan berdasarkan waktu tertentu sesuai tenor yang tertera di dalam kontrak. Ada yang enam bulanan, ada pula yang satu tahunan. Beruntung jika karyawan kontrak itu bisa diperpanjang berkali-kali, dan biasanya ada pula yang lantas diangkat menjadi karyawan tetap.
Bagaimana dengan yang kontraknya tidak diperpanjang? Ketika kontrak selesai, selesai pula hubungan mereka dengan tempatnya bekerja. Tidak aneh jika kita lantas mendengar banyak keluhan atau pengaduan mengenai perselisihan perburuhan. Banyak gejolak di banyak tempat, apakah itu terkait status kepegawaian maupun masalah pengupahan.
Rupanya masalah pegawai honorer terjadi pula di instansi pemerintah. Tidak sedikit honorer yang juga bertanya-tanya soal status kepegawaian mereka, terutama mereka yang sudah bekerja sel;ama beberapa tahun. Di lembaga pemerintah, pegawai honorer biasa disebut Pegawai Non-ASN. Artinya, mereka bukan aparatur sipil negara.
Ada “keguncangan” di semua wilayah, apakah itu di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota.
Hal itu terjadi ketika Pemerintah Pusat melalui Kementerian Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB) mengeluarkan Surat Edaran (SE) Menpan RB Nomor B/185/M.SM.02.03/2022.
Surat Edaran tersebut ditujukan kepada para Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di lingkungan Kementerian/Lembaga instansi pusat dan daerah. Artinya, SE tersebut ditujukan dan diberlakukan di seluruh Indonesia.
Sebenarnya SE tersebut merupakan tindak lanjut atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara yang peraturan teknisnya dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017, serta Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 Tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Dengan adanya SE Menpan RB Nomor 185/2022 tersebut, para PPK diminta: (1) melakukan pemetaan pegawai non-ASN di lingkungan masing-masing. Bagi yang memenuhi syarat dapat diikutsertakan/diberi kesempatan mengikuti seleksi Calon PNS maupun PPPK; (2) menghapuskan jenis kepegawaian selain PNS dan PPPK di lingkungan instansi masing-masing dan tidak melakukan prekrutan pegawai non-ASN; (3) Pengemudi, tenaga kebersihan, dan satuan pengamanan dapat dilakukan melalui tenaga alih daya (outsourching) oleh pihak ketiga dan statusnya bukan merupakan tenaga honorer pada instansi bersangkutan; (4) menyusun langkah strategis penyelesaian pegawai non-ASN yang tidak memenuhi syarat dan tidak lulus seleksi calon PNS maupun calon PPPK sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum batas waktu 28 November 2023.
Tampaknya dead line 28 November itulah yang lantas menghantui para pegawai non-ASN di lingkungan pemerintah, tidak terkecuali Provinsi Jawa Barat. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya mereka yang khawatir tidak lolos seleksi hingga batas waktu tersebut.
Mengingat begitu krusialnya hal tersebut Pemprov Jabar lantas membentuk Satgas Penyelesaian Status Kepegawaian non-ASN. Di dalamnya terdapat Biro Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Biro Organisasi, Badan Kepegawaian Daerah (BKD), dan Perangkat Daerah (PD).
Hal ini dikarenakan harus menghitung jumlah kemampuan anggaran, harus menentukan kebijakan formasi dan penyesuaian data analisis jabatan (anjab) dan analisis beban kerja (ABK), serta menghitung kebutuhan formasi. Itu semua bukan pekerjaan mudah dan ringan.
Total pegawai pegawai non-ASN di Provinsi jabar adalah 52.006 orang yang melalui kontrak perorangan 44.086 orang dan melalui badan usaha (outsourching) sebanyak 7.920 orang. Mereka yang melalui kontrak perorangan terdiri dari 10.797 fungsional guru, 1.761 fungsional kesehatan, 1.532 fungsional penyuluh, 508 pranata computer, serta 29.488 tenaga administrasi, teknis, dan lainnya.
Dari total pegawai pegawai non-ASN sebanyak itu, mayoritas ada di Dinas Pendidikan, yakni 32.583 orang, di Dinas Sumber Daya Air sebanyak 3.312 orang, dan di Dinas Kesehatan 2.482 orang. Adapun yang paling sedikit ada di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil 12 orang, Inspektorat Daerah 10 orang, dan Badan Penghubung 9 orang. Sekali lagi, dengan jumlah pegawai non-ASN sebanyak itu pasti menimbulkan kerumitan yang sangat kompleks.
Jika dikaitkan dengan syarat dan ketentuan pendataan, pegawai non-ASN yang masuk syarat pendataan BKN hanya 33.108 orang. Jumlah tersebut terdiri dari pegawai non-ASN yang masuk pendataan BKN 32.098 orang dan pegawai non-ASN yang belum masuk pendataan BKN sebanyak 1.008 orang.
Sebenarnya ada harapan yang cukup besar sebagaimana yang tertuang dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.
RUU tersebut pada pasal 131A ayat (1) menyebutkan “Tenaga honorer, pegawai tidak tetap, pegawai non-PNS, dan tenaga kontrak yang bekerja terus-menerus dan diangkat berdasarkan surat keputusan yang dikeluarkan sampai dengan tanggal 15 Januari 2014, wajib diangkat menjadi PNS secara langsung dengan memperhatikan batasan usia pension sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90”.
Tentu saja hal itu dilakukan didasarkan pada seleksi administrasi berupa verifikasi dan validasi data surat keputusan pengangkatan masing-masing pegawai. Hal itu dieksplisitkan pada ayat (2) Pasal yang sama. Prioritas bagi mereka adalah yang memiliki masa kerja paling lama dan bekerja pada bidang fungsional, administratif, pelayanan publik.
Hal-hal yang menjadi pertimbangan adalah masa kerja, gaji, ijazah pendidikan terakhir, dan tunjangan yang diperoleh sebelumnya. Mereka akan diangkat oleh Pemerintah Pusat. Jika tidak bersedia diangkat menjadi PNS, mereka harus membuat surat pernyataan ketidaksediaan untuk diangkat sebagai PNS.
Semoga para anggota DPR RI dan Pemerintah Pusat segera mensahkan RUU tersebut menjadi Undang-Undang. Pemberlakuan UU tersebut akan membuat status kepegawaian para pegawai non-ASN menjadi lebih pasti. Dengan demikian, setidaknya, mereka akan tetap bekerja dengan baik karena pada dasarnya mereka juga berbakti pada negara. Jadi, saya berhap jangan ada PHK di antara kita.**