12 Desember 2022
Oleh: Lyster Marpaung( Sobat 42 tahun lalu)
Remy Silado(23761). Foto:Ist |
Tahun 80-an, atau tepatnya 42 tahun lalu di Bandung, saya sudah mengenal dekat dengan Japi Panda Abdiel Tambayong yang lebih populer dengan nama Remy Silado (23761). Sang Maestro Sastra Indonesia yang memiliki Segudang Karya ini telah dipanggil Tuhan/wafat di Jakarta, Senin(12/12/2022).
Bertahun-tahun bersama beliau banyak ilmu yang ditimba darinya khususnya dibidang Jurnalistik. Setelah berganti manajemen Majalah Aktuil Bandung ke alm Abang Sondang Napitupulu, saya bergabung dengannya sebagai Wartawan Biro Bandung bersama alm Uddin Lubis. Juga wartawan dan Redaktur lainnya seperti Maman Sagit(Bandung) dan alm. Bens Leo(Jakarta)
Sebagai Jurnalis, alm Remy Silado tidak saja Pengasuh/Redaktur di Majalah Aktuil namun menulis juga di media lainnya. Termasuk Majalah Selecta yang paling populer pada ketika itu. Saya juga diajak untuk aktif menulis di majalah tersebut.
Banyak kesan dan ilmu yang saya dapatkan dari cara beliau bekerja, di antaranya dengan kerasnya untuk memperoleh sesuatu. Hampir tiap hari kami bertemu karena kebetulan tempat latihan dalam teaternya di Gedung Yayasan Jl Naripan yang berendeng dengan tempat saya bekerja sebagai Wartawan Kantorberita Nasional Indonesia(KNI)Perwakilan Jawa Barat di Jl Naripan no 7 Bandung.
Di Teaternya ia bersama rekan-rekannya yang pernah memiliki nama besar seperti Jais Hadian yang sekarang tinggal di Prancis, Immanuel, Uddin Lubis, Doel Sumbang, Syafrin M Zaini (Redaktur Dara Online)dan Yan Hardlan, Boy Worang "Si Anak Tangsi" bersama sederetan nama lainnya.
Satu hal yang paling berkesan saya rasakan ketika bersama beliau selama di Bandung ketika saya diminta untuk menulis berita di Aktuil, Tibum(Ketertiban Umum) Pemkot Bandung yang kerap kali mengejar-ngejar pedagang kaki lima di Jl Cihampelas. Saat itu, kami melihat Tibum mengobrak abrik dagangan pedagang kaki lima, foto, perintahnya.
Sayapun langsung memoto perlakuan Tibum. Ada seorang angota Tibum yang melihat kami. Lantas kami dikejar, saya bertahan dengan maksud untuk memberikan penjelasan. Tibum tidak mau tau, saya langsung digebukin, dan badan saya dihajar dengan kursi.
Saya kelabakan, dan saya menjerit, Bang Remy tolong. Apa jawabannya, tahankan aja supaya kau tau bagaimana menjadi seorang wartawan, katanya sembari meninggalkan saya.
Banyak hal lain juga yang saya alami, di antaranya bagaimana cara memberi pelajaran kepada isteri yang sering mau ikut dengan urusan suami ketika menjalankan tugas sebagai seorang wartawan.
Semasa hidupnya beliau adalah Sastrawan; Dosen; Novelis; Penulis; Penyanyi; Aktor; Wartawan sejak tahun 1965. Beliau juga dianggap sebagai pelopor seniman MBELING dari Bandung.
Semasa hidupnya, kemampuan Remy dalam berbahasa pun patut diacungi jempol. Bahasa yang ia kuasai, antara lain, ialah bahasa Mandarin, Jepang, Arab, Yunani, Inggris, dan Belanda. Tidak jarang dalam tulisan dan ceramah ilmiahnya ia membahas kebahasaan.
Remy Sylado, lahir di Malino, Makassar, Sulawesi Selatan pada 12 Juli 1945. Ayah Remy Sylado bernama Johannes Hendrik Tambayong. Ibunya bernama Juliana Caterina Panda.
Remy Sylado lulus dari sekolah dasar di Makassar. Ia pun kembali melanjutkan sekolahnya di Semarang hingga lulus SMA pada 1959. Kemudian, belajar di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), Solo dan di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Solo. Selanjutnya, ia melanjutkan di Akademi Bahasa Asing di Jakarta.
Sejak duduk di bangku sekolah dasar, Remy Sylado memiliki bakat dalam menulis kaligrafi Arab. Juga memiliki bakat dalam dunia seni peran. Ia pernah menjadi tokoh drama ketika berumur empat tahun sebagai seekor domba di kandang natal.
Di Semarang ia sempat bermain drama berjudul "Midsummer Night's Dream" karya Shakespeare.
Istri Remy Sylado bernama Maria Louise Tambayong, ketika di Bandung mereka tinggal di Jl Sriwijaya. Di sini, alm banyak mengoleksi peliharaan berbagai jenis burung. Sebelum kita masuk ke rumahnya, berdiri sebuah patung ukiran, pria telanjang.
Perjalanan Karier
Dari berbagai sumber saya ambil bahwa Remy Sylado mengawali kariernya sebagai seorang penulis. Pada 1963, ia menjadi seorang wartawan dari surat kabar Sinar Harapan.
Di samping itu, Remy Sylado juga menulis kritik, puisi, cerpen dan novel.Selang dua tahun, Remy Sylado menjadi redaktur Harian Tempo Semarang. Ia menjadi redaktur Tempo Semarang hingga tahun 1966.
Setelah itu, Remy Sylado menjadi redaktur Majalah Aktuil di Bandung pada tahun 1970. Aktif mengajar di Akademi Sinematografi Bandung sejak 1971.Aktif dalam kegiataan keagamaan.
Setelah puisi mbeling, Remy Sylado tidak berhenti berkarya. Kumpulan puisi lainnya berjudul Kerygma & Martyria juga berhasil mencuri perhatian publik.
Berkat buku puisinya itu, Remy meraih penghargaan dari MURI sebagai penulis buku puisi tertebal, 1056 halaman dan berisi 1000 puisi.
Terdapat karya-karya Remy Sylado lainnya seperti novel 'Gali Lobang Gila Lobang' (1977), 'Kita Hidup Hanya Sekali' (1977), 'Orexas (1978)', dan lain-lain.
Di bidang musik, Remy Sylado juga telah menciptkan 13 album kaset untuk drama musikalnya.
Penghargaan
Khatulistiwa Award 2002
Kerudung Merah Kirmizi
Pusat Bahasa 2006.
Kini dia telah tiada sudah dipanggil Tuhannya ketempat yang terakhir di surga. Selamat jalan Bang Remy Silado, istirahatlah dengan Damai. Karya mu pasti akan dikenang. (*)