Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil tidak main-main untuk membangun kawasan metropolitan rebana. Bahkan Ridwan Kamil berkeinginan menjadikan kawasan tersebut sebagai destinasi investasi terbaik di Asia Tenggara.
"Target saya, rebana itu kawasan destinasi
terbaik Asean. Mimpi saya ingin sekelas Asean, saya bermimpi kawasan rebana
didesain sebagai the best destinasi investasi di Asean," ujar Ridwan Kamil
dalam telekonferensi dengan Tim Penyusun Peraturan Presiden terkait Penyampaian
Rincian Proyek Percepatan Pembangunan Kawasan Rebana dan Kawasan Jawa Barat
Bagian Selatan, di Gedung Pakuan, Kota Bandung. (republika.co.id, 20/6/2021)
Pembangunan ekonomi Indonesia tidak akan mungkin
bisa berjalan tanpa adanya bantuan pihak swasta. Masifnya investasi diharapkan
dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi, yang nantinya diyakini mampu menciptakan
lapangan pekerjaan bagi rakyat. Inilah yang terus dinarasikan pemerintah.
Namun, apakah benar Investasi mampu menciptakan
lapangan pekerjaan? Faktanya, pembangunan metropolitan rebana bukanlah untuk
kepentingan rakyat tapi untuk investor. Pembangunan dan pelayanan diberikan
agar investor berdatangan.
Salah satu faktor mengapa investasi belum tentu
menciptakan lapangan pekerjaan adalah karena para investor lebih senang
berinvestasi pada sektor yang padat modal, bukan pada sektor yang padat karya.
Hal demikian menjadi wajar lantaran risiko investasi
pada perusahaan padat karya jauh lebih besar dari perusahaan padat modal.
Begitupun benefit yang diperoleh, relatif lebih kecil dibandingkan dengan
perusahaan yang padat modal.
Selain itu, kebijakan kontraproduktif terus saja
diciptakan. Dipermudahnya tenaga kerja asing masuk ke Indonesia kala jutaan
rakyat masih menganggur, adalah kebijakan yang pastinya bukan untuk rakyat.
Pajak yang tinggi dan sulitnya rakyat mengakses modal pun menjadikan
perekonomian rakyat macet tak berkembang.
Tak berlebihan jika dikatakan investasi bukanlah
solusi atas karut-marutnya perekonomian bangsa dan terhimpitnya lapangan kerja.
Yang tampak dari investasi adalah sebuah penjajahan asing lewat ekonomi.
Hegemoni para kapitalis terhadap perekonomian Indonesia telah menjadikan negeri
ini seperti sapi perah.
Kuatnya oligarki kekuasaan yang berpadu padan dengan
kekuatan pemilik modal telah melahirkan kesengsaraan pada umat yang tak
berkesudahan. Lapangan kerja justru makin menyempit lantaran regulasi yang
memudahkan tenaga kerja asing masuk. Dengan adanya investasi, sejumlah regulasi
disetir dan kesejahteraan rakyat tak terealisasi.
Selain urgensi yang bertumpu pada umat, dilihat juga keuangan kas negara. Apabila baitulmal tidak cukup mendanai proyek yang dianggap tidak vital, pengerjaan proyek itu ditangguhkan. Tidak dipaksakan dengan mencari investor asing atau berutang pada negara asing, seperti kondisi saat ini.
Lain jika proyek tersebut dianggap vital, yaitu
dapat menyebabkan kemudaratan pada umat. Misalnya, kebutuhan membangun industri
berat, yang jika negeri muslim tidak memilikinya, bisa dikuasai negara lain.
Sehingga, jika baitulmal tidak mencukupi, negara
akan mengambil langkah cepat. Pemerintah akan memungut dharibah/pajak temporer
kepada orang kaya. Tidak diizinkan sama sekali pemerintah mengundang investor
karena bisa menyebabkan dharar pada kas negara.
Pajak dalam Islam berbeda dengan pajak dalam sistem
kapitalisme. Selain negara tak menjadikan pajak sebagai sumber pendanaan, juga
sifatnya yang temporer, alias insidental.
Di atas itu semua, sumber utama APBN negara bukanlah
pajak dan utang, tetapi dari fa’i dan kharaj, kepemilikan umum, dan sedekah.
Dari sini saja, kas negara akan relatif stabil dan tak mudah defisit. Swasta
apalagi asing tidak diperbolehkan menguasai SDA, sehingga pendanaan proyek
bersumber dari kas negara (baitulmal) adalah niscaya.
Lalu, bagaimana Islam mengatur penyerapan tenaga
kerja? Pertama, negara melarang keras praktik riba. Riba dapat membuat
perkembangan harta berlipat-lipat tanpa disertai pertumbuhan barang dan jasa.
Meningkatnya harta bukan karena ada barang/jasa yang besar, tetapi karena riba.
Padahal, barang dan jasa diharapkan tumbuh dan menyerap lapangan pekerjaan.
Kedua, mengoptimalkan baitulmal sebagai sistem
keuangan. Rasulullah Saw. akan memberikan modal pada rakyatnya yang
membutuhkan, baik hibah ataupun pinjaman tanpa bunga. Hal demikian akan
memudahkan penyerapan lapangan pekerjaan
Ketiga, menata ulang kepemilikan umum yang melimpah,
tidak boleh dikuasai asing. Kepemilikan umum adalah milik rakyat. Negara hanya
bertugas mengelola demi kepentingan umat.
Dalam hal ini, negara bisa menjadikan industri yang
mengelola kepemilikan umum diatur sedemikian rupa agar industrinya padat karya
dan mampu menyerap lapangan pekerjaan.
Maka dari itu, kehadiran negara secara langsung
dalam mengelola urusan perekonomian rakyat sangatlah dibutuhkan. Negara tidak
boleh hanya sekadar regulator.
Negara harus terbebas dari setiran pihak mana pun.
Kebijakan negara harus berporos hanya pada kepentingan umat dan kemuliaan agama
Allah SWT. Sungguh, sistem Islam adalah satu-satunya sistem yang mampu memenuhi
ini semua.