Jakarta.Internationalmedia.Id.-PT
Kereta Api Indonesia (KAI) tengah mengkaji kenaikan tarif perjalanan kereta api
jarak jauh karena pendapatannya anjlok
50% selama pandemic Covid-19.
Pengkajian ini dilakukan
sebagai langkah untuk menyiasati penurunan okupansi perusahaan plat mereh ini.
Direktur Utama KAI, Didiek
Hartanto dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Jumat (22/5/2020)
menyatakan, okupansi KAI hanya 50 persen, maka otomatis akan berkomunikasi
kemungkinan penaikan tariff.
Namun ia menambahkan usulan
itu masih dalam tahap pengkajian hingga menunggu keputusan pemerintah terkait
perkembangan pandemi Covid-19.
Rencana tersebut juga
sebagai penyesuaian dalam kondisi normal baru atau new normal di mana ketentuan
Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB) masih tetap akan berlaku.
Artinya, okupansi pun akan
tetap di angka 50 persen sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 25 Tahun 2020
tentang tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idulfitri Tahun
1441 Hijriah dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 serta Surat Edaran
Gugus Tugas Nomor 4 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang dalam Rangka
Percepatan Penanganan Covid-19.
"Sekarang pemerintah
masih menggodok ketentuan new normal dan tetap melihat perkembangan PSBB.
Apabila tadi okupansi 50 persen seperti pesawat udara, kemungkinan kami
mengajukan kenaikan tarif untuk KA jarak jauh saja, komuter (KRL) tetap,"
katanya.
Dikatakan, saat ini
pendapatan harian KAI dari penumpang anjlok hingga Rp 24,2 miliar selama
pandemi Covid-19 dari Rp 20-25 miliar per hari menjadi Rp 800 juta per hari.
"Untuk pendapatan dari
penumpang itu rata-rata harian Rp 20-25 miliar dalam satu hari. Dalam masa
Covid-19 ini, pendapatan harian hanya sekitar Rp 800 jutaan," kata Didik.
Dia menambahkan selama
Januari 2020 total pendapatan dari penumpang Rp 39 miliar dan pada April 2020
sebesar Rp 32 miliar.
Pendapatan yang anjlok
tersebut turut menyebabkan arus kas perusahaan pelat merah tersebut defisit
karena pendapatan dari penumpang tergerus hingga 93 persen.(*)